Namaku Jamilah, anak ke-8 dari sembilan bersaudara. Aku lahir di Malaysia, sehari sesudah perayaan Krismas. Aku adalah salah satu anak TKI yang ada di salah satu wilayah yang ada di Malaysia, tepatnya di Kampung Merotai Kecil Tawau Sabah. Ibu dan ayahku bekerja sebagai buruh sawit, layaknya seperti orangtua pada teman-temanku yang lain juga. Ayahku adalah sosok ibu dan ayah bagiku. Selain pintar masak, beliau juga suka bercerita di malam hari hingga aku tertidur pulas. Namun, takdir berkehendak lain. Ayahku meninggal dunia saat aku masih berumur 6 tahun. Sejak itu, ibu lah yang menjadi tulang punggung keluarga dan saudara laki-laki juga turut membantu alias abang.
Semenjak ketiadaan ayah, segala sesuatu berubah drastis. Dari hal sepele sampai hal menentukan alur hidup bahkan pendamping hidup. Hehe, tapi aku tidak pernah menyesali kepergian ayahku, karena beliau sudah sangat banyak mengajarkanku arti kehidupan yang bahkan belum aku ketahui arti dari semuanya saat aku masih kecil.
Waktu kecil, ayah seringkali mengajakku untuk bernyanyi. Meskipun suaraku agak nyaring dan suka gak jelas, tapi ayah tidak pernah memarahiku melainkan tertawa bahagia melihatku bernyanyi dengan wajah polosku. Namun, semua itu tinggal kenangan yang tidak akan pernah kembali lagi.
Hari demi hari, aku semakin beranjak dewasa.
Sewaktu di SMP, aku sering dapat juara satu di kelas dan dikenal sebagai anak yang baik, yahhh meskipun aku tidak harus menyebutkan itu tapi aku harus menyampaikan juga karena orang yang sejatinya baik tidak akan mengatakan dirinya baik.
Menjelang Ujian Nasional, aku lebih fokuskan untuk belajar supaya aku bisa mendapatkan hasil terbaik. Sampailah tiba hari-H nya, aku melaksanakan ujian dengan baik. Tinggal menunggu hasilnya saja dalam beberapa bulan lagi.
Selang beberapa bulan setelah ujian, dirumah pamanku akan ada acara pernikahan. Beliau mengajakku dan keluarga untuk hadir. Oleh karena ibu dan abangku masih sibuk kerja, akhirnya aku memutuskan untuk pergi menggantikan posisi mereka. Aku mengajak teman sebelah rumah untuk ikut bersamaku, Hasna namanya.
Ditengah kesibukan dalam acara pernikahan pamanku, aku yang dikenal sebagai orang yang penurut sedang membuat kue bolu di dalam dapur bersama Hasna, teman sebaya yang tinggal di belakang rumah. Hasna yang memiliki tekstur kulit hitam manis, berbadan kurus, dengan hidung mancung yang terdapat belahan di kedua lubang hidungnya akan membuatku tidak kesulitan untuk menebak sosoknya. Tiap harinya dia akan selalu datang ke rumah untuk bermain bersama. Tidak sedikit juga hal pribadi yang aku ceritakan kepadanya dan begitu juga dia.
Ketika sedang asik membuat kue, terdengar suara hentakan kaki dari ruang tamu menuju dapur yang ternyata itu adalah kakak iparku, biasa dipanggil Kak Jur. Kak Jur seorang perempuan berbadan tidak tinggi, agak berisi, dengan sepasang mata yang bersih yang dinaungi alis tebal. Mukanya selalu mengibarkan senyum manis dilengkapi lesung pipi yang sangat menonjol di kedua pipinya. Saat tiba di dapur, terlihat dia sedang memegang telefon dan pandangannya menjurus ke arahku seolah-olah ingin mengatakan sesuatu. Sejurus dia berkata dengan nada tinggi.
“Mila, ni ada telepon dari sekolah. Dia bilang ko harus kesana sekarang sebab ada pengumuman UN”
“Hah ?”
Pikiranku melayang sejenak. Seolah-olah tidak menyangka bahwa momen yang dinanti-nantikan akhirnya tiba.
“iya, tapi kalau sekarang dakda motor... Jadi kau terpaksa pulang sendiri jak lah! Biar kakak kasi tambang”
“yala plek kak.”
Dengan tanpa berkata panjang, aku langsung meninggalkan pekerjaanku dan berlari menuju kamar yang terdapat di ruang tamu sebelah kanan.
“ aduh, jadi excited la plak !”
Kataku sambil mengenakan kerudung berwarna hijau yang sebenarnya bertabrakan dengan warna baju yang aku pakai.
Dari kejauhan terdengar suara teriakan memanggil namaku yang merupakan warisan terindah dari kedua orangtua ku.
“Mila cepat !”
“iya, ini mau siap sudah”
Banyak orang mengatakan bahwa namaku adalah nama pasaran. Tapi aku tidak mengendahkan itu, karena yang terpenting adalah arti sebuah nama bukan pasaran atau tidaknya.
Tanpa berlengah lagi aku langsung melangkahkan kakiku keluar dari kamar untuk pergi ke sekolah dengan hati yang berdegup kencang. Aku turun dari tangga sambil lari kecil dengan tangan kananku memegang samping tangga agar aku tidak terjatuh dan tersipu malu. Kan gak lucu kalo tiba-tiba aku jatuh dari tangga dan mati mendadak. Wah ! Bisa hancur masa depan.
“ aku jalan dulu ya”, kataku.
“iya, hati-hati”, sahutnya dari kejauhan.
Perlahan-lahan aku pun pergi meninggalkan rumah itu untuk ke sekolah dengan segera menuju ke tempat perhentian bis di samping jalan raya sebelah kanan. Tidak lama kemudian, tampak sebuah bis dengan corak putih hitam yang tertulis di depan kaca sebuah nama daerah seolah-olah menyeru pada seluruh umat bahwa mobil tersebut adalah aliran menuju “MEROTAI KECIL” agar tidak akan ada penumpang yang salah naik bis karena bisa berakibat fatal alias salah alamat.
“ Alhamdulillah, akhirnya ada juga bas yang limpas”, kataku dengan wajah sedikit tenang yang duduk di bangku umum sambil tangan kananku mengusap dadaku.
Aku pun berdiri dengan cepat agar aku tidak terlewatkan bis itu. Sejurus, supir bis itu pun langsung melihat ke arahku dan sepertinya mengetahui kalau aku ingin menumpangi bisnya.
Dengan segera bis itu mendekat ke arahku dan berhenti tepat di depanku. Ternyata bis yang ingin aku tumpangi itu masih kosong, menandakan aku bisa memilih tempat duduk dimana saja aku mahu. Untuk lebih kelihatan kece, aku pun memilih untuk duduk di bangku paling depan bersebelahan dengan sang supir.
Dengan wajah yang lelah pandanganku menoleh ke arahnya yang lagi sibuk menyetir ditemani lagu-lagu hits di radio Tawau FM seraya berkata
“pak cik ? Aku turun di Merotai Kecil ya!”
Supir itu pun langsung meresopon pertanyaan yang kulemparkan padanya dengan intonasi yang agak serak-serak basah. Mungkin, dia sedang terserang penyakit pilek, kataku didalam hati.
“ouh, iyalah”, sahutnya.
Di dalam bis, aku duduk termenung memandang ke luar jendela bis sebelah kanan melihat deretan pohon kelapa sawit yang sebenarnya tidak menarik bagiku. Pikiranku melayang kemana-mana meratapi nasib.
“kalau aku sudah lulus, aku mau sambung dimana? Apakah aku masih boleh sekolah? Sedangkan disini tidak ada yang menyediakan kuota bagi siswa yang tamat SMP untuk lanjut ke SMA”, kataku dalam hati.
Persoalan-persoalan itu seringkali muncul di benakku. Aku tidak tahu keajaiban apa yang akan datang menemuiku kelak. Hanya doa yang selalu ku panjatkan setiap waktu.
“aduhh, aku ndak boleh pesimis ! Aku harus yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan jalan bagi orang yang mau berubah. Meskipun aku belum melihat akan jalan yang diberikanNya kepadaku”
Tanpa ku sedari, aku pun tiba di destinasi. Sebuah perkampungan yang memberikan banyak kenangan manis yang sejujurnya terlalu indah untuk aku lupakan.
Tangan kiriku yang seringkali mendapat cacian, makian, cemoohan dari sekeliling karena seringkali aku gunakan untuk menulis dan melakukan hal-hal lainnya yang mungkin menggannggu pandangan orang lain dan juga melanggar etika di masyarakat. Tapi, aku tidak menganggap itu sebagai masalah besar dalam hidupku. Aku menganggap itu sebagai pemberian terindah dari Tuhan dan juga sebagai pembeda antara aku dan orang lain. Aku juga bukan tipe orang yang keras kepala, aku akan selalu mencoba untuk mengaplikasikan tangan kananku, untuk hal tertentu aja, makan misalnya.
Sejurus, aku pun membuka pintu bis yang kelihatannya agak tua dan saranku hal itu perlu untuk diperbaharui.
Aku pun turun dari bis segera dan menerawang kantong celanaku untuk mengambil uang tambang yang diberikan Kak Jur padaku. Ternyata, uang yang diberikan sangat pas dengan harga tambang perjalananku sehingga aku tidak perlu menunggu untuk mendapatkan cash back alias baki uang.
Aku pun langsung pulang ke rumah untuk mengenakan baju seragam SMP yang diberikan sekolah hasil dari dana BOS yang merupakan kebijakan pemerintah yang baru ku rasakan buahnya. Maklumlah hidup di negeri jiran tidak bisa merasakan kebijakan pemerintah kita seutuhnya.
Saat tiba di rumah, tidak ada satu suara pun kedengaran di telingaku. Yaa, mungkin mereka semua sudah berangkat kerja dan sepertinya adik kesayanganku (Zubaidah) sudah pergi sekolah mendahuluiku. Tanpa berlengah lagi, aku pun langsung mengenakan baju dan kerudung putih dipadankan dengan rok biru gelap dengan sepatu putih mengkilap. Sejurus melihat ke arah cermin dan berkata,
“mudah-mudahan Allah swt memberikan hasil yang terbaik,” kataku sambil tersenyum optimis dengan dua lesung pipi di pipiku membuat aku tambah yakin bahwa aku adalah the most beautiful girl in the world.
Aku pun bergegas ke sekolah. Sesampaiku di sana, aku directly menuju ke ruangan yang ada di sebelah ruangan guru yang tertulis slogan “WC” tepat depan pintu itu. Aku tidak pernah menyangka kalau ternyata “barbie” salah ruangan. Aku melihat kekiri, kelihatan banyak teman-teman sibuk ngobrol yang aku sendiri tidak tahu apa yang dibicarakan oleh mereka. Aku pun bergegas mengahmpiri mereka dan ternyata ruangan penuh misteri itu akhirnya kutemui. Saat tiba di depan pintu, perlahan-lahan aku membuka pintu dengan tangan gemetaran seolah-olah sedang berhadapan dengan malaikat maut. Sejurus melihat ke dalam ruangan yang tidak terlalu luas dengan warna biru muda, aku pun langsung mengarahkan pandanganku ke adikku, kulihat dia sedang ngobrol bersama (Nurul) teman sebayanya. Aku menghampiri mereka dan duduk di kursi paling belakang.
“ hey, bed ! Apa cerita ?”, kataku menyapa adikku dari arah belakang.
“ akhirnya kakak sampai juga, oiya ! Kakak diapat beasiswa untuk melanjutkan ke SMA di Jakarta,” sahutnya dengan wajah bahagia.
“iya jam, best-nya kau dapat beasiswa kan,” kata Nurul memotong perbualan kami.
Sejenak aku berpikir,
“ah ! Dak mungkin la aku dapat begituan,” kataku dalam hati dengan nada penasaran.
Selang beberapa detik kemudian, terdengar dari arah depan seseorang sedang memanggil namaku. Dan ternyata itu adalah my beloved teacher, merupakan guru ahli bidang studi Bahasa Indonesia, Pak Adib namanya. Beliau juga merupakan satu-satunya guru musik disekolahku yang cenderung memainkan alat musik piano, dan juga alat musik lainnya
Aku pun langsung bergegas menghampiri beliau,
“ya pak, ada apa?”, tanyaku santai.
“ begini jam, kamu dapat full beasiswa untuk lanjut SMA ke Jakarta. Apa kamu siap ? soalnya kamu cuma punya waktu tiga hari untuk siap-siap and make a desicion now”, kata beliau dengan wajah penuh harapan agar aku mau menyetujuinya.
Itulah guru, yang selalu memberikan penerangan dan harapan bagi setiap anak didiknya. Mereka selalu berusaha bagaimana caranya agar aku dan teman-teman yang lain bisa lanjut sekolah seperti teman-teman yang lain yang ada di Tanah Air tercinta.
Aku langsung tercengang mendengar hal itu, seolah-olah tidak percaya kalau aku dapat lanjut sekolah. Tidak pernah terlintas di pikiranku bahwa akan ada jalan seperti ini. Itulah indahnya kuasa Tuhan, selalu saja ada jalan dari arah yang tidak disangka-sangka bagi mereka yang mau berubah dan berusaha.
Sejenak kembali ke masa lalu. Sewaktu aku menduduki kelas 6 SD, aku juga mendapatkan peluang yang sama untuk lanjut sekolah ke Sebatik, wilayah perbatasan antara Indonesia dengan negara jiran. Saat itu, guru dan teman-temanku sangat berharap kalau aku bisa ikut. Aku pulang dengan hati gembira dan bahagia tak terkira. Tidak sabar untuk aku menceritakan hal ini kepada ibuku.
“ibu, aku dapat tawaran untuk lanjut SMP ke sebatik ni. Kawan-kawan yang lain sudah setuju semua. Tinggal aku jak yang belum ni”, kataku.
“janganlah ! Disini saja kau sekolah. Kenapa jugak mau jauh-jauh ? Kau tu perempuan, bahaya kalo merantau sendiri. Nanti jadi apa-apa disana ! Siapa mau tengok kau ? Jauh lagi.” sahut ibuku dengan wajah datar tanpa sedikitpun melihatku.
Pada waktu itu, aku belum mengerti kenapa beliau tidak mau meng-iya-kan saja kepergianku. Sampai-sampai guru dan teman-teman datang ke rumah untuk meluluhkan hati ibuku, namun tak kunjung cair. Aku sangat sedih pada waktu itu, melihat semua temanku lanjut sekolah sedangkan aku tidak.
“sudahlah, mungkin ini bukan yang terbaik untuku,” batinku.
Aku mengerti mengapa ibuku tidak mengizinkan aku pergi melanjutkan sekolah jauh-jauh. Ibu, merupakan sosok yang luar biasa bagiku. Beliau adalah sosok ibu yang kuat. Setelah kepergian ayah, ibu menjadi tidak seperti dulu lagi. Beliau sangat protektif terhadap kami, mungkin karena tidak ingin kehilangan anggota keluarga untuk kedua kalinya setelah kepergian ayah. Oleh karena itu, aku memilih untuk sekolah di kediamanku saja.
Dan sekarang, moment itu terjadi lagi untuk kedua kalinya. Aku mendapatkan peluang yang sama yaitu lanjut sekolah ke luar negeri (ntah aku yang lagi di luar negeri atau bagaimana? Sebut sajalah luar negeri). Aku tidak yakin kalau ibuku akan mengizinkan aku untuk pergi setelah mendengar hal ini. Perang batin terjadi antara pikiran dan hatiku. Namun, aku harus memberitahukan hal ini ke ibu dulu.
“tapi pak, kasi aku waktu satu hari untuk bilang ke ibu dulu.” jawabku.
“yaudah besok bapak tunggu konfirmasi dari kamu, kalo bisa secepatnya”, sahut beliau dan beredar pergi, karena masih banyak hal yang harus diselesaikan terkait dengan pengumuman hasil UN.
Dimulailah pengambilan keputusan hasil UN, dan aku adalah orang pertama yang dipanggil kedepan sekaligus pemberitahuan bahwa aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya yaitu SMA, tepatnya di Jakarta.
Aku tidak dapat menggambarkan bagaimana perasaanku pada waktu itu, bahagia bercampur gelisah. Mungkin di satu sisi aku bahagia karena aku satu-satunya orang yang terpilih untuk lanjut ke jenjang SMA dengan beasiswa seratus persen. Disisi lain, aku khawatir semua cita-citaku hancur hanya gara-gara ibuku tidak memberikanku rekomendasi untuk pergi.
“tidak bisa seperti ini terus, pokonya aku harus pergi !! Aku mempunyai hak untuk lanjut sekolah. Kenapa harus dihalang ??” batinku.
Saat perjalanan pulang, aku terus menerus memikirkan hal yang sama. Ntah apa lagi yang harus aku lakukan agar ibuku bisa setuju dan memahamiku.
Sesampaiku dirumah, aku menceritakan masalah beasiswa tersebut kepada ibuku, dan responnya masih tetap seperti dulu. Mendengar ketidak-setujuan ibu pada waktu itu, air mataku pun mengalir tanpa terbendung lagi. Aku langung berlari memasuki kamar untuk menenangkan hati dan pikiran. Mulai dari pagi hingga malam aku tidak keluar dari kamar, ibuku menjadi khawatir. Akhirnya, beliau menelepon kakakku yang berada diluar kota dan coba untuk mendiskuksikan hal tersebut kepadanya.
Besoknya, beliau datang kerumah untuk mendiskusikan mengenai jalan yang terbaik untukku dan masa depanku. Saat beliau tiba dirumah, beliau langsung ke kamar untuk menemuiku. Namun aku masih sangat sedih pada waktu itu sehingga tak satu kali pun aku menoleh ke arah kakakku yang baru saja tiba.
Beliau akhirnya berbicara bertatap muka dengan sang ibu di halaman rumah. Setelah lama bercerita akhirnya,
“sudahlah buk, biarkan jak la di pergi menuntut ilmu jauh-jauh. Dia kan sudah dewasa juga. Pandai-pandai lah dia jaga diri disana,” kata kakakku yang aku dengar dari jendela kamar.
Tapi kan nak, adikmu itu perempuan. Diluar sana bahaya kalau perempuan jalan sendiri. Lagipun kenapa tidak sekolah disini ? Kan banyak sekolah disini ?” sahut ibuku membantah argumen dari kakakku yang coba membelaku.
“ iya, sekolah disini memang banyak, tapi takkan lah mau berkurung disini terus kan? Apa yang kita dapat kalau hanya dibawah tempurung saja?”, sahut kakakku dengan wajah meyakinkan.
“iyalah, aku pun ndak mau sudah kongkong adikmu lagi. Besar juga sudah dia, biarlah dia pergi belajar disana. Jangan jadi macam kita disini, “ kata ibuku sambil memandang awan cerah di pagi itu.
“sudahlah buk, biarkan lah dia pergi belajar. Berilah kepercayaan sama dia. Mungkin dia perlu kebebasan juga atau mungkin dia punya impian yang lain yang kita mungkin tidak tau,” kata kakakku sambil mengusap bahu ibuku.
“iyalah, ibu izinkan dia pergi. Asalkan kita selalu contact dia juga, ibu cuma khawatir sama dia” sahut ibuku dengan wajah mencuba untuk menutup-nutupi kesedihannya.
“iya,, iya,, buk. Kalau masalah itu jangan risau. Nanti aku akan selalu contact dia,” sahut kakakku.
Mendengar hal itu aku sangat bahagia, karena setelah sekian lama akhirnya aku bisa melanjutkan sekolah ke tempat lain. Tanpa berpikir panjang, aku pun langusung menelepon guruku bahwa aku akan berangkat besok pagi.
Pada hari itu, ibuku sangat sibuk sekali menyiapkan makanan dan pakaian untuk aku bawa besok hari. Aku juga ikut membantu ibu, begitu juga adikku. Setelah semuanya usai tepat pukul 9 malam, semuanya sibuk menyesuaikan tempat tidur masing-masing termasuk aku. Ketika aku hendak me-landingkan kepala, kulihat ibu sedang duduk termenung kearah bagasi yang akan ku bawa besok pagi. Aku pun mendekati ibu,
“ibu, kenapa belum tidur?”kataku sambil melihat kearahnya.
“tidak apa-apa nak, kau tidurlah duluan?,” sahut ibu sambil menoleh ke arahku.
“ndak mau lah, aku mau tidur sama-sama ibu jak malam ni” kataku sambil memeluknya.
Kemudian, ibuku menangis sambil memelukku. Aku pun tertanya-tanya,
“ibu, kenapa nangis ? janganlah sedih. Aku ndak akan pergi lama. Kalau Tuhan mengizinkan, kita akan berjumpa lagi nanti”, kataku sambil mengusap airmata beliau.
“mila, kamu hati-hati ya.. Berhati-hatilah dalam memilih teman. Jangan tinggalkan solat, jangan mudah terpengaruh sama lingkungan, ingat selalu tujuan awal. Jangan lupa untuk selalu doakan ibu disini agar kita bisa berjumpa lagi. Karena kau ndak akan menemukan orang yang menyayangimu setulus hati selain ibu. Satu hal lagi, ibu membiarkan kamu pergi karena ibu tidak mau menjadi penghalang untuk kamu mencapai cita-citamu, pergilah merantau dan kejarlah cita-citamu” sahut ibu sambil tersedu-sedu dengan panjang lebar. Itulah ibu, ke-bawel-annya merupakan nasehat yang pasti akan ku rindukan nanti.
“tidak buk, ibu tidak pernah sedikitpun menjadi penghalang untuk menggapai cita-citaku. Doa ibulah yang selalu mengiringi langkahku untuk mencapai impianku, aku akan selalu ingat nasehat dari ibu. Sudahlah buk! Ayo tidur .. Besok kan harus bangun awal,” kataku memancarkan senyuman ke arah beliau.
Terdengar jelas suara azan berkumandang, mendandakan masuknya waktu shubuh dan fajar pun akan segera tiba.
Saatnya aku pergi meninggalkan kampung halamanku menuju halaman yang baru. Meskipun aku belum tahu akan masalah apa yang akan kuhadapi di depan, namun aku yakin bahwa ini adalah langkah pertamaku menuju hijrahku. Mudah-mudahan keputusan yang aku ambil ini menjadi awal untuk berubah dan mengangkat derajat kerabat dekat dan diriku di hadapanNya. Siapa sangka, perempuan desa yang hidupnya penuh kendali akhirnya bisa memegang kendalinya sendiri. Kemanakah dia akan pergi dan berlabuh ? Mudah-mudahan ilmu yang bermanfaat lah yang akan selalu menerangi jalannya bersama dengan kerendahan hati dan keindahan tutur katanya.
~sekian~
